Mereka- yang berteriak: “TIDAK ADIL.”
Reference of Audio: Comptine d’un autre été, l’après-midi — Yann Tiersen
Berteriak, terjebak: “Tolong- Tolong aku!” — seekor lalat meronta kaku.
Badannya tak berdaya, lelah, lemah, kalah telak.
Tengok kiri kanan, tanpa pertolongan.
Apakah ini takdir seekor lalat? Mati tanpa kesempatan, diterkam pembunuh berdarah dingin.
Apakah selesai sudah semua yang telah ia perjuangkan? Selama ini menelusuri dunia kesana kemari, mencari makna akan hidupnya yang kecil di antara besarnya alam semesta.
Begitukah hidup, sia — sia ketika salah melangkah?
“Sungguh aku pasrah.” Tak dapat lagi dirinya terbang — merangkak berdiri, menyeret tubuh bahkan tak mampu.
Terjerat diam membuat menunggu maut, membusuk hingga larut.
Beberapa saat benang — benang halus bergetar, menari-nari dengan angin malam yang lembut.
Delapan matanya, empat pasang kakinya.
Liur menjijikan, gerak gerik yang gesit menghipnotis.
“Rupa-nya engkau.” Ucap sang arakhnida sambil menggeliat mengelilingi sang mangsa,
Langkah-langkah kecilnya layaknya tarian pemburu yang ganas. Tidak hanya menghina, juga memainkan sang lalat dalam permainan tak terelakkan.
“Bunuh aku cepat.” Ucap sang lalat, suaranya remuk tak berdaya.
Ia tak lagi berusaha, terkapar tak berdaya di hadapan sang predator yang menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan serangannya. Ia berharap Tuhan mengampuni-nya.
Namun, di tengah keputusasaannya, muncul pertanyaan yang menggema dalam keheningan malam: Tuhan tidak adil, Tuhan jahat, Tuhan palsu. Jika Tuhan adalah segalanya yang baik, dia tidak bisa menjadi segalanya yang berkuasa; jika Dia segalanya yang berkuasa, dia tidak bisa menjadi segalanya yang baik.
Mata-mata tajam melirik diam, tarian dan gerakannya terhenti-terdiam memangku angannya. “Tanpa perlawanan? Di mana hasrat untuk hidupmu, wahai lalat!” — ucapnya yang pedas menindas.
Lalat tahu jelas, untuk apa melawan jika sama saja? “Ini tidak adil!” sang lalat berseru, suaranya penuh keputusasaan dan ketidakpercayaan.
“Tuhan tidak adil! Diriku, terjebak dalam jebakan yang bahkan mata tajamku tak mampu melihat. Apakah layak, jika kau menghabisiku tanpa pengampunan? Apakah layak, aku kalah telak dalam hidup ini karena benang-benang ini?”
Laba — laba mendengarkan lalu perlahan tergelitik, tertawa kecil.
“Baiklah, anggap ini tidak adil. Apakah ada perbedaan jika kau menanam benihmu pada tubuh yang melemah-yang perlahan membangkai, dan membiarkan anak — anakmu mengerogoti habis walau tubuh itu masih berdaya? Tubuh yang melemah tetapi berdaya! Hanya saja; ia tak mampu melindungi diri, mati entah karena apa.”
Sang mangsa melanjutkan, “Tapi begitu aturan alam bukan? Yang lemah kalah, yang kuat merajalela? Di sini, aku hanya mengambil kesempatan ketika engkau lengah.”
“Dirimu terbang bebas, kesana kemari- diriku hanya hinggap di sini menunggu-memohon agar esok hari tubuhku tidak melemah dan kau tanam benih-benih pada tubuhku lalu dimangsa hancur perlahan, atau pasukan semut mulai merobek-mencongkel bagianku detik demi detik?”
Sang lalat terdiam- meresapi perkataan sang arakhnida.
“Kini kau hadir di depanku, mengucap ketidakadilan- lucu bukan? Satu untuk semua, dan semua untuk satu bukan? “kami” di dunia ini, makhluk demi makhluk merenggut banyak hal dari alam, setidaknya kami harus mengembalikannya suatu saat. Ini karunia sementara, ketika saatnya nanti datang untuk diriku mati tercekik perutku sendiri, aku akan menabur kembali kepada alam.”
Sang lalat menghela nafas, dan perlahan ia memejamkan matanya.
“Cukup sudah, kini saatnya kau membayar hutangmu pada dunia.” Ucap sang laba-laba, ia memandang lalat yang kalah telak tak mampu berkata-kata.
Ia merayap, bergerak menuju sang lalat secara perlahan, lalu ditikam taringnya pada tubuh yang lemah; seperti tertusuk belati, yang tajam dan dalam.
19:44–6th of May 2024